oleh Daian (Diyan Kurniawati)
Keheningan menepikan senja yang sebenarnya berpelangi.
“Aku menyayangi semua orang. Tapi ternyata, tidak untuk cinta
pada seseorang. Padanya juga. Seseorang yang katanya ingin menikahiku.,” Nayla
bermonolog.
***
“Kenapa kau ingin menikah denganku?” Tanya Nayla.
“Aku ingin punya keturunan,” jawabnya dengan nada tergelak. Dia
pikir Nayla main-main dengan pertanyaannya.
“Hanya itu? Kau memang tidak pernah mencintaiku! Aku sudah
mengira,” nada Nayla pias. Nayla lalu menggelengkan kepala.
Lalu, cinta?
***
Beberapa puluh tahun yang lalu Nayla mengenalnya. Seorang
laki-laki yang Nayla panggil ayah. Tapi padanya Nayla tak berhak memanjakan
diri. Tapi padanya Nayla tak berhak mendapatkan kehangatan. Karena Nayla hanya
berhak dituntut untuk menjadi penurut, pintar, dan tidak macam-macam. Padanya
Nayla dituntut untuk membuat struktur diri: dilahirkan, dibesarkan,
disekolahkan, lalu bekerja, dan mandiri tanpa merepotkan banyak orang.
“Nay, sudah ayah daftarkan les matematika dan bahasa Inggris.
Senin sampai dengan kamis jadwalmu. Jangan lupa hari jumat kamu ada les musik,”
beberapa puluh tahun lalu, saat Nayla memakai seragam putih biru yang masih
baru, ayah menyerahkan daftar jadwal les pada nya.
“Aku tidak suka matematika dan bahasa Inggris, Yah. Aku hanya
suka musik,” rajuk Nayla. Ayah hanya menggeleng dan mengeraskan wajah. Itu
tandanya ia tidak suka dan Nayla harus menuruti perintahnya.
“Semua untuk masa depanmu,” kata Ayahnya. Tegas.
Hidup itu sebuah struktur yang berulang, tetap, dan tak pernah
ada improvisasi. Itu yang Nayla miliki. Pukul tujuh malam Nayla sudah
terstruktur menyelesaikan semuanya. Lalu tinggal di kamar menyelesaikan semua
tugas sekolah, kuliah, atau pekerjaan yang kadang dia bawa pulang.
“Hidup itu sebuah struktur, Ayah. Aku melakoninya,” menjelang
lelapnya, Nayla berbisik padanya, laki-laki yang dia panggil ayah, yang
sekarang jauh darinya. Sesuatu yang dia banggakan: rekaman gitar akustik
disetelnya keras-keras, beratus cerita pendek dan puisi dia tumpuk rapi di
sekitar tempat tidur. Ayahnya tak pernah tahu itu. Karena ayahnya hanya bangga
pada pekerjaan Nayla, seorang akuntan di perusahaan otomotif besar.
“Ayah bangga padamu,” beberapa tahun lalu laki-laki itu
mengucapkan selamat kepadanya sambil tersenyum tipis, sesaat setelah membaca
surat penerimaan kerja.
Tapi sungguh, karena semua itu, Nayla tak pernah ingin menangis
setetespun.
Cintakah ayahnya padanya? Sering Nayla bertanya. Dalam hati.
***
“Coba asah sedikit rasamu,” kata Imran, laki-laki, sahabat
Nayla, di tempat kerjanya. Nayla tersenyum.
“Maksudnya apa nih. Memangnya selama ini aku tak pernah pakai
perasaan,” kata Nayla. Sebal. Imran mengangguk. Nayla semakin sebal .Tapi lalu
segera melanjutkan diskusi keuangan perusahaan di pagi yang agak gerah.
“Nay, aku mencintaimu,” beberapa hari kemudian seseorang
menuliskannya pada kertas merah jambu. Di atas meja kerja Nayla. Tentu saja
Nayla tahu. Itu tulisan Imran.
“Aku tidak bisa. Karena kamu sahabatku,” kata Nayla dengan nada
bersahabat pada Imran. Nayla tahu Imran, otak Imran sama dengan otaknya. Semua
terstruktur. Hidup adalah struktur yang berulang dan tak ada improvisasi.
Sebagai sahabat kerja, Imran menyenangkan. Ia cepat tanggap dan bersedia
membantu Nayla setiap saat. Tetapi tidak, Nayla tak ingin memilih Imran sebagai
pasangan hidup. Nayla ingin seorang laki-laki berotak dinamis, menyukai gitar
dan setumpuk tulisan sastra. Angan Nayla melayang, bukan pada sosok Imran.
Imran sendu menerima jawaban Nayla. Tak lama, ia mengundurkan
diri dari perusahaan. Nayla kehilangan. Laki-laki yang dia panggil sahabat ini
pun tak pernah tulus. Nayla tak pernah tahu kenapa. Apakah ini karena cinta?
***
Nayla menemukannya di suatu senja. Laki-laki yang beberapa saat
kemudian dia panggil kekasih. Berkonsentrasi pada lukisan dengan nada-nada
warna cerah, Nayla menemukannya di sudut gallery ketika Nayla iseng melihat pameran lukisan. Lalu mereka
berkenalan. Nayla berbunga. Ceria. Menenggelamkan diri pada semua
angan-angannya dulu: gitar, setumpuk tulisan sastra, dan kini ditambah lukisan.
Nayla belajar melukis padanya. Dia belajar bermain musik pada Nayla. Lalu
membuat cerita pendek bersama-sama. Pelangi menari-menari. Dinamika,
improvisasi….
“Ayah, aku menemukannya,” terbangun di pagi, Nayla kembali
berbisik.
***
“Aku ingin menikah denganmu, Nay,” tak ada angin saat laki-laki
itu mengucapkannya. Nayla sedikit termangu dan tersenyum.
“Kenapa kau ingin menikah denganku?” Tanya Nayla. Sangat serius.
“Aku ingin punya keturunan,” jawabnya dengan nada tergelak. Dia
pikir Nayla main-main dengan pertanyaanku.
“Hanya itu? Kau memang tidak pernah mencintaiku! Aku sudah
mengira,” nada Nayla pias. Nayla lalu menggelengkan kepala. Pergi di tengah
kebingungannya.
Ia mengejar.
“Jangan pernah berpikir jelek tentangku. Cinta itu proses, Nay,”
lanjutnya. Mungkin nanti setelah kita menikah, cinta itu….,”
“Ya, mungkin juga tak akan pernah. Kau hanya menginginkan anak
dariku, bukan, kau hanya ingin rahimku!” Nayla berlari. Menjauh.
“Nay!!!!…….,” teriaknya tak kudengar. Nayla tidak emosional.
Nayla orang yang sangat logis. Laki-laki itu ternyata tak pernah mencintainya.
Mungkin, bibitnya pun dia tak pernah punya.
Angan-angan Nayla dulu: gitar, setumpuk cerita, dan kini
ditambah lukisan….
“Karena itu, tak ada yang berhak menamaiku cinta,” bisik Nayla
di tengah senja. Sehabis hujan.
Samarinda, 7 Oktober 2011, 11.03 wita
loading...